menu

. .
. . .

Total Tayangan Halaman

Minggu, 21 Juni 2015

TABAYYUN

Sikap Tabayyun Sebagai Akhlaq Mulia Seorang Muslim


                   

                                                         

(11) إِنَّ الَّذينَ جاؤُو بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَ الَّذي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذابٌ عَظيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kata bahwa perbuatan mereka itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu adalah mem­baikkan. Setiap orang akan men­dapat hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan orang yang mengambil bagian terbesar akan mendapat siksaan yang besar pula.

(12) لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَ الْمُؤْمِناتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْراً وَ قالُوا هذا إِفْكٌ مُبين
Mengapa setelah mendengar berita-berita bohong itu orang­orang yang beriman, baik laki laki ataupun perempuan, tidak meletakkan sangka yang baik terhadap dirinya, mengapa tidak mereka katakan bahwa berita itu adalah bohong belaka?

(13) لَوْلا جاؤُو عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَداءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَداءِ فَأُولئِكَ عِنْدَ اللهِ هُمُ الْكاذِبُون
Mengapa mereka menuduh tetapi tidak mengemukakan empat orang saksi; kalau mereka tidak mengemukakan saksi-saksi itu, mereka adalah pembohong belaka dalam pandangan Allah

(14) وَلَوْلا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيا وَ الْآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فيما أَفَضْتُمْ فيهِ عَذابٌ عَظيمٌ
Kalau bukanlah kemurahan Tuhan Allah dan kasih rahmat­Nya kepada kamu di atas dunia ini dan di akhirat kelak, niscaya kamu akan ditimpa oleh azab yang amat besar karena berita yang kamu siarkan itu.

(15) إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَ تَقُولُونَ بِأَفْواهِكُمْ ما لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَ تَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَ هُوَ عِنْدَ
اللهِ عَظيمٌ
Ketika kamu sambut berita itu dari lidah ke lidah, kamu katakan dengan mulutmu perkara yang sama sekali tidak kamu ketahui; kamu sangka bahwa cakap ­cakap demikian perkara kecil saja, padahal dia adalah perkara besar pada pandangan Allah

(16)        وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ ما يَكُونُ لَنا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهذا سُبْحانَكَ هذا بُهْتانٌ عَظيم
Alangkah baiknya ketika kamu mendengar berita itu kamu kata­kan saja: Tidak sepatutnya kami membicarakan berita bohong ini. Amat Suci Engkau ya Tuhan, berita ini adalah bohong besar belaka !

(17)         يَعِظُكُمُ اللهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَداً إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنينَ
Tuhan memberi pengajaran bagi kamu, supaya jangan meng­ulangi lagi perbuatan seperti itu buat selama-selamanya. Kalau betul kamu mengakui beriman.

(18)         وَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ الْآياتِ وَ اللهُ عَليمٌ حَكيمٌ
Dan telah dijelaskan oleh Tuhan ayat-ayatNya kepada kamu! Dan Tuhan Allah adalah Maha Me­ngetahui dan Maha Bijaksana.



]وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً[

Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS al-Isrâ’ [17]: 36).
Seorang muslim merupakan cerminan tentang agama yang dianutnya, artinya bahwa agama Islam akan menjadi baik, memiliki citra yang baik dimata seluruh kaum muslimin, apalagi di mata orang-orang beragama non muslim, bilamana akhlaq pemeluk agama tersebut sangat baik. Dan begitupun sebaliknya.
Namun kadang dalam kehidupan internal ummat Islam terjadi perselisihan antar sesama dan bahkan berakibat kepada perpecahan. Saling tuduh, saling fitnah, saling memerangi, dan saling membunuh. Hal tersebut seringkali disebabkan masing-masing pihak kurang dapat mengendalikan diri, dan kurang mampu menyaring informasi yang mereka dapat dari pihak lain.
Allah SWT berfirman dalam al Quran surat al Hujurat ayat 6 ; 

يَأُيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَومًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.”

Perintah tabayyun atau mendalami masalah, merupakan peringatan, jangan sampai umat Islam melakukan tindakan yang menimbulkan dosa dan poenyesalan akibat keputusannya yang tidak adil atau merugikan pihak lain. Di dalam al Qur’an, perintah tabayyun juga terdapat pada QS. al Hujurat :6.
Dalam ayat tersebut tersirat suatu perintah Allah, bahwa setiap mukmin, yang sedang berjihad fi sabilillah hendaknya bersikap hati-hati dan teliti terhadap orang lain. Jangan tergesa-gesa menuduh orang lain, apalagi tuduhan itu diikuti dengan tindakan yang bersifat merusak atau kekerasan. Terhadap mereka yang mengucap ”Assalamu’alaikum” atau ”la ilaha illallah”, misalnya, yaitu ucapan yang lazim dalam Islam, terhadap orang tersebut tidak boleh dituduh ”kafir”, sekalipun ucapan itu hanya dhahirnya. Ini hanya sekedar contoh, di mana kita tidak boleh gegabah dalam mensikapi orang lain.


Pengertian lebih mendalam dari tabayyun adalah melakukan penelitian. Yaitu suatu kegiatan yang berupaya mendalami dan memecahkan suatu persoalan dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan. Ciri metodologi yang lazim dalam dunia ilmu pengetahuan bisa sebutkan di sini:
1.  Rasional; berpijak pada cara berpikir rasional.
2.  Obyektif; apapun yang ditelaah atau kaji harus sesuai dengan objeknya.
3.  Empiris; obyek yang dikaji merupakan realitas atau kenyataan yang dialami manusia.
4.  Kebenaran atau simpulannya bisa diuji. Bahwa kebenaran teori-teori atau hukum yang      diperoleh melalui proses analisa, harus sanggup diuji oleh siapa saja.
5.  Sistematis, semua unsur dalam proses kajian harus menjadi kebulatan yang konsisten.
6.  Bebas; dalam penganalisaan fakta-fakta, seseorang harus dalam keadaan bebas dari segala tekanan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu.
7.  Berasas manfaaf; kesimpulannya harus bersifat umum dan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan dalam dakwah.
8.  Relatif; apa yang ditemukan atau ynng disimpulkan tidak dimutlakkan kebenarannya, dalam arti memungkinkan untuk diuji oleh temuan berikutnya atau temuan orang lain

Melakukan tabayyun dalam arti penelitian tersebut sudah lama melekat dalam tradisi keilmuan Islam. Sejarah kebudayaan Islam, yang diwarnai oleh temuan para sarjana-sarjana muslim macam Al Faraby, Al Khawarizmi, Ibn Khaldun, Imam Gazali, dan banyak lagi para ilmuwan abad pertengahan, telah mengembangkan model-model riset seperti itu. Ibnu Khaldun adalah yang kemudian membagi model-model riset menurut Islam, seperti berikut:
1.  Riset Bayani; yakni penelitian yang ditujukan untuk mengenali gejala alam dengan segala gerak-gerik dan prosesnya. Misalnya, mengenai kenapa kupu-kupu berwarna-warni; kenapa ikan terdiri bergaman jenis dan bagaimana cara hidup dan pola makananya.
2.  Riset Istiqra’i: Yaitu penelitian yang ditujukan untuk mencari kejelasan pola-pola kebudayaan dan kehidupan sosial manusia. Ini yang kemudian berkembang menjadi riset ilmu sosial.
3.  Riset Jadali: yakni riset yang dimaksudkan untuk mencari hakekat atau kebenaran yang didasarkan oleh cara berpikir rasional (rasionale exercise). Di sana biasa digunakan ilmu mantiq dan filsafat.
4.  Riset Burhani: yakni riset untuk tujuan eksperiman. Misalnya atas temuan obat tertentu, dilakukan tes di laboratorium. Contoh lain, mencobakan metode baru dalam pembelajaran terhadap siswa-siswa sekolah.
5.  Riset Irfani: riset yang secara spesifik menjelajah hakekat ajaran Islam. Pada gilirannya menghasilkan ilmu tasawuf.

Adab Ketika Datang Berita


Perlu dimaklumi bahwa berita yang kita dengar dan kita baca tidak mesti semuanya benar. Terlebih lagi kita hidup pada zaman yang banyak terjadi fitnah, hasud, ambisi kedudukan, bohong atas nama ulama, baik itu dilakukan melalui internet, koran, majalah maupun media masa lainnya. Berita ini bukan hanya merusak kehormatan manusia, akan tetapi merusak ajaran Islam dan pemeluknya.

Sikap yang benar yang harus dilakukan agar kita tidak terpancing oleh berita fitnah ialah sebagaimana ajaran Islam membimbing kita, di antaranya:
Tidak semua berita harus kita dengar dan kita baca, khususnya berita yang membahas aib dan membahayakan pikiran.
Tidak terburu-buru dalam menanggapi berita, akan tetapi diperlukan tabayyun dan pelan-pelan dalam menelusurinya.

Rosululloh sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“التاني من الله والعجلّة من الشيطان”

“Pelan-pelan itu dari Alloh, sedangkan terburu-buru itu dari setan.” (Musnad Abu Ya’la: 7/247, dishohihkan oleh al-Albani: 4/404)

Al-Imam Hasan al-Bashri rahimahulloh berkata: “Orang mukmin itu pelan-pelan sehingga jelas perkaranya.”[4]

Syaikh Sholih Fauzan hafidzahullah berkata: ”Hendaknya kita pelan-pelan dalam menanggapi suatu perkataan, tidak terburu-buru, tidak tergesa-gesa menghukumi orang, hendaknya tabayyun. Sebagaimana firman Alloh ‘Azza wa Jalla dalam QS. al-Hujurot[49]: 6 dan QS. an-Nisa[4]: 94.” (al-Muntaqo min Fatawa al-Fauzan: 3/25)
Waspada terhadap pertanyaan yang memancing, karena tidak semua penanya bermaksud baik kepada yang ditanya, terutama ketika menghukumi seseorang. Oleh karena itu tidak semua pertanyaan harus dijawab. Bahkan menjawab ‘saya tidak tahu’ adalah separuh dari pada ilmu. (Hasyiyatul Utsuluts Tsalatsah: 1/118 oleh Abdurrohman bin Muhammad an-Najdi)
Hendaknya waspada menanggapi berita pelecehan kepada ulama Sunnah.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya sebagian manusia kadang kala salah dalam memahami perkataan ulama, dan kadang kala seorang ulama memahami pertanyaan tidak seperti maksud penanya, lalu dia pun menjawab sesuai dengan yang dia pahami. Kemudian penanya ini menyebarkan perkataan yang tidak benar. Betapa banyak perkataan yang dinisbahkan kepada para ulama yang mulia, akan tetapi tidak ada dasarnya. Oleh karena itu wajib bagi kita meneliti perkataan orang yang memindah fatwa ulama atau bukan ulama terutama pada zaman sekarang, di mana hawa nafsu dan fanatik golongan menyebar, sehingga manusia berjalan bagaikan buta mata.” (Tafsirul Qur’an oleh Ibnu Utsaimin:7/17)
Hendaknya waspada mendengar berita yang disebarkan oleh pihak yang berprasangka buruk. Alloh ‘Azza wa Jalla menyuruh kita agar berbaik sangka dan menjauhi buruk sangka. (Baca QS. al-Hujurot [49]: 12).

Rosululloh sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ايّاكم والظنّ فانّ الظنّ اكذب الحديث

“Jauhilah dirimu dari persangkaan, maka sesungguhnya persangkaan itu sedusta-dustanya perkataan.” (HR. al-Bukhori: 5144)
Jauhilah berita yang bersumber dari peng-ghibah dan pemfitnah.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Penyebab orang itu memfitnah adakalanya karena ingin berbuat jelek kepada orang yang difitnah, atau ingin menampakkan kesenangan kepada yang diberi kabar, atau untuk mendengarkan cerita atau obrolan perkara yang batil. Ini semua adalah haram, maka haram bagi kita membenarkan orang yang membawa berita untuk memfitnah dengan cara apa pun, karena pemfitnah adalah orang fasiq yang wajib ditolak kesaksiannya.”[5]

Ada orang yang datang kepada Amirul mukminin, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, dia menjelaskan kejelekan orang lain, lalu Umar rahimahullah berkata: “Jika kamu mau, kami akan periksa dahulu berita darimu ini, jika kamu pendusta maka kamu di dalam QS. al-Hujurot: 6, dan jika kamu benar maka kamu termasuk firman Allah ‘Azza wa Jalla:
هَمَّازٍ۬ مَّشَّآءِۭ بِنَمِيمٍ۬

“Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah. ”(QS. al-Qolam [68]: 11)

Jika kamu mau, aku maafkan kesalahanmu.” Lalu orang itu berkata: “Saya memilih dimaafkan wahau Amirul Mukminin dan saya tidak akan mengulangi perkataan ini lagi.” (Nihayatul Arbi fi Fununil ‘Adab: 1/347)

Subhaanallaah! Betapa indahnya para penuntut ilmu pemula pada zaman ini bila mau mengambil faedah dari ulama yang mulia ini, sebuah nasihat emas yang bermanfaat untuk umat.
Waspadalah dari berita orang yang mengumbar lisannya tanpa ilmu dan tidak takut dosa. Orang Islam hendaknya tidak membicarakan sesuatu yang dia tidak tahu perkaranya, karena Allah ‘Azza wa Jalla mengancam orang yang berbuat dan berbicara tanpa ilmu. (Baca QS. al-Isro’[17]: 36 dan QS. al-A’rof [7]: 33)
Waspadalah berita yang disebarkan penyembah hawa nafsu dan fanatik golongan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Ayat ini menunjukkan bahwa manusia wajib meneliti berita terutama yang disampaikan oleh penyembah hawa nafsu dan fanatik golongan atau perorangan. Jika berita datang dari orang yang kurang dipercaya, maka wajib diteliti dan jangan terburu-buru dalam menghukuminya padahal berita itu dusta, maka kamu akan menyesal. Dari sinilah datang dalil ancaman keras bagi orang yang menggunjing, yaitu menukil sebagian perkataan orang yang bermaksud merusak orang lain. Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يدخل الجنة فتّات

“Tidaklah masuk Surga orang yang pemfitnah.”(Tafsir Ibnu Utsaimin: 7/16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar