Makalah Faktor Yang Menghalangi Orang Berbuat Kebaikan
Selasa, 17 April 2012
BAB I
PEMBUKAAN
A. Latar Belakang
Masalah
Dalam
kehidupan dulu sampai sekarang, akhlak merupakan hal terpenting. Rasululullah
sendiri diutus menyempurnakan akhlak, sehingga ajaran beliau selalu berhubungan
dengan akhlak. Mulai dari hal yang kecil sampai besar, beliau selalu memberikan
contoh akhlak yang baik.
Namun,
banyak orang enggan untuk melakukan akhlak baik atau kebaikan Ini disebabkan
oleh beberapa hal atau faktor. Di antaranya adalah hawa nafsu. Disini para
penyusun makalah mencoba menyajikan beberapa hal atau faktor yang mempengaruhi
enggan berbuat kebajikan. Ini ditujukan agar kita semua memahaminya,
menjauhinya dan mengobatinya apabila kita sudah terjangkit hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
yang dipakai penyusun disini adalah:
- Kecenderungan berbuat maksiat,
- Ria penyakit jiwa, dan
- Menyepelekan berbuat baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kecenderungan
Berbuat Maksiat
Satu sisi manusia adalah makhluk
yang dilebihkan oleh Allah SWT, namun di sisi lain manusia sendirilah yang
menjatuhkan dirinya dalam jurang kehinaan yaitu dengan mengikuti nafsunya.
Kecenderungan berbuat maksiat sudah ada tertanam dalam jiwa manusia sejak
dilahirkan ke alam dunia ini. Hal ini tersirat dalam Al-Qur’an surat Asy-Syams
ayat 8:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Ayat ini sebagai indicator adanya dua
sifat dalam diri manusia yang salah satunya kecenderungan berbuat maksiat).
Kemaksiatan atau kedurhakaan manusia
tidak hanya pada Allah saja, tetapi kepada Rasul-Nya pun demikian dan ini telah
dimulai sejak pertengkaran antara dua insane putra Adam as., Qabil dan Habil.
Bahkan sejak Adam as beserta istrinya mendekati pohon terlarang, kedurhakaan
sudah tampak. Tak hanya pada masa itu, kedurhakaan terjadi sampai pada masa
Rasul terakhir Muhammad SAW. Dan Allah SWT menyebut orang-orang durhaka ini
dengan sebutan fujjar.
Oleh karena itu, sifat negatiflah
yang mendorong berbuat congkak, menyeleweng dan mengikuti nafsu syahwati
lainnya, sehingga menyandang predikat fujjar. Berbuat kemaksiatan merupakan
kebiasan bagi pengikut sifat negatif ini, dan nilai-nilai amal saleh sama
sekali jauh darinya.[1]
Menurut penjelasan di atas, manusia
sebenarnya sudah diberikan oleh Allah sifat cenderung berbuat maksiat. Tergantung
kepada manusia apakah dia mengikuti sifat tersebut atau sebaliknya. Sifat
itulah yang menyebabkan manusia jauh dari amal saleh dan menghalangi untuk
berbuat kebajikan.
B. Ria Penyakit Jiwa
Perbuatan ria laksana hama penyakit
yang merusak ganas tanaman-tanaman di dunia. Kalau dunia adalah lading untuk
ditanami maka ria adalah hama penyakit yang merusak tanaman tersebut.
Rasulullah SAW sangat mengkhawatirkan umatnya diserang hama-hama tersebut.
Suddad bin Aus pernah menjumpai
Rasulullah yang sedang menangis, kemudian Syuddad bertanya kepada beliau.
“Kenapa
menangis ya Rasulullah?”
Beliau
menjawab, “Saya takut umatku dihinggapi syirik. Bukannya mereka menyembah
berhala. Menyembah matahari, bulan atau batu, hanya saja mereka dimasuki ria
ketika mengerjakan amal.”
Sungguh suatu bahaya yang sering tak
terduga oleh orang yang mengerjakan amal kebajikan. Bukan menyembah berhala
yang sudah nyata-nyata sirik dan kedzalimannya, namun letak bahaya ria adalah
di bibir manis dan dalam hati tak lebih dari kedzaliman.
Ini namanya penyakit jiwa yang
tumbuh dan menyerang dalam hati. Penyakit itu merusak segala amal kebajikan
sekaligus membaurkan kejernihan hati. Hatinya rusak, sakit, dan sia-sia belaka
suatu amalan yang landasan niatnya berpenyakit. Kalau hati sakit, niatpun
berpenyakit, dan kalau niat berpenyakit maka sekujur tubuh dari kebajikan akan
sia-sia tak tersisa dalam hidup yang abadi.
Tangan yang sakit akan terasa sukar
mengangkat dan menggenggam. Kalau sekujur tubuh agak demam pun pula kesulitan
menjalankan aktifitas sehari-hari. Sekarang bagaimana kalau hati yang sakit.
Dimana hati itu dijadikan cermin yang di dalamnya terkandung ilmu dan hikmah.
Karena hati manusia mampu mengatakan dirinya dekat Allah SWT, bisa merakan
lezatnya beribadah dan lezatnya mencintai Allah. Kalau hatinya bersarang
penyakit, maka hal-hal di atas tidak akan mungkin terjadi dan dirasakan di
setiap hati yang berpenyakit. Ibadahnya tetap ibadah, akan tetapi tubuhnya saja
yang bergerak dan hatinya tidak, sebab hati sedang dilanda penyakit.[2]
C.
Menyepelekan Berbuat baik
Seiring
dengan kemunduran pemahaman kaum muslimin terhadap agamanya sendiri, muncullah
sikap menyepelekan hokum-hukum Allah. Baik terhadap akidahnya maupun
syariatnya. Ada beberapa sebab sehingga terjadinya hal seperti itu, yaitu.
- Karena Kebodohan
Orang yang bodoh tidak bisa membedakan perkara yang
prinsipil dan cabang; mana yang harus dikerjakan dan mana yang bisa diabaikan.
Ia bisa menganggap semua hal adalah penting atau sebaliknya, menganggap bahwa
semua hal adalah tidak penting. Bagi si bodoh, membasuh kaki saat berwudhu bisa
jadi tidak penting atau menutup aurat juga tidak penting.
Agar kaum muslimin terhindar dari kebodohan yang
berdampak pada sikap menyepelekan risalah Allah, menuntut ilmu menjadi sebuah
kemestian. Rasulullah bersabda:
“Tuntutlah ilmu dari
buaian hingga liang lahat”
- Karena Hawa Nafsu
Terkalahkannya akal manusia oleh hawa nafsu, akan
memunculkan sikap meremehkan hokum-hukum Allah. Betapa banyak orang yang merasa
tenang saja duduk-duduk di rumahnya, atau tidak merasa gelisah ketika bepergian
padahal waktu shalat telah tiba.
Ada juga orang yang merasa ‘biasa-biasa’ saja jika
bersikap sombong pada orang lain, jauh dari keramahan, suka menyakiti hati
sesma serta kurang peduli pada perasaan orang lain. Hatinya jauh dari perasaan
menyesal apalagi keinginan untuk meminta maaf pada ‘korban-korbannya’. Inilah
buah dari berkuasanya hawa nafsu dalam diri seseorang.
أنا
وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وي القلب
“Ingatlah! Sesungguhnya di dalam jasad
manusia ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, tetapi
jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya, ingat ia adalah hati (kalbu)” (HR
Bukhari)
- Karena Kepongahan Diri
Kesombongan
memang salah satu bagian dari hawa nafsu, tetapi ia memiliki dampak merusak
yang amat besar dibandingkan hawa nafsu lain semisal kemalasan. Karena sikap
pongah atau sombong, seseorang bisa menyepelekan amal-amal shaleh. Ia merasa
amal-amal kebajikan yang kecil (apalagi jika itu hukumnya sunnah), tidak perlu
diperhatikan dan dipermasalahkan. Ia pun marah jika ada seseorang yang
mengungkit-ungkit amal-amal yang menurutnya sepele, karena ia mengabaikannya
atau menyepelekannya.
- Untuk Membela Kesalahan
Pepatah
bahasa Indonesia mengatakan; buruk muka cermin dibelah. Tidak jarang
kita menyepelekan amal karena kita sendiri luput mengerjakannya. Ketika hati
sudah malas dan tidak mau meluangkan waktu membaca al-Qur’an, shalat malam,
puasa sunnah, akhirnya berdalih, “Ah, taqarrub pada Allah itu kan banyak
caranya. Menegakkan syariah itu taqarrub yang lebih penting,lho.” Jawaban
itu benar tapi dipakai untuk membela kekurangan diri.
Tabiat jiwa yang sudah malas dan enggan bertakwa, maka
saat mengerjakan perintah Allah, andaipun ia kerjakan, maka dikerjakan dengan
jauh dari kesungguhan.[3]
Firman Allah Ta’ala.
142. Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu
Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka[364]. dan apabila mereka berdiri
untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya[365] (dengan
shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali[366]. [0]
[364] Maksudnya: Alah membiarkan mereka dalam
pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai melayani para mukmin.
dalam pada itu Allah Telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan
tipuan mereka itu.
[365] riya ialah: melakukan sesuatu amal tidak
untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di
masyarakat.
[366] Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah
sekali-sekali saja, yaitu bila mereka berada di hadapan orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar